Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘rangkuman buku pram’ Category

olejh Muh. Fausan

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1000 kilometer sepanlang utara Pulau Jawa dari Anyer sampai Panarukan. Sejak dapat dipergunakan pada 1809 telah menjadi infrastuktur penting, dan untuk selamanya.Dengan jatuhnya Hindia Belanda pada1942, disusul masa-pendek pendudukan militerisme Jepang sampai1945, berlanjut dengan revolusi 1945-1949,orang sudah tidak peduli lagi bahkan tidak ingat lagi padanya.

Daerah yang pertama di lalui Jalan Daendels adalah Anyer yang merupakan salah satu tempat perlawanan rakyat melawan kompeni. Kini Anyer tinggal jadi tempat tujuan wisata laut. Daerah yang selanjutnya dilalui jalan daendels adalah Cilegon yang merupakan tempat pemberontakan rakyat pada 1887 dengan dibunihinya penduduk Eropa termasuk Asisten-Residennya.Daerah selanjutnya yaitu Banten yang merupakan sebuah kesultanan islam.

Daerah berikutnya yang dilalui Jalan Daendels adalan Serang yang melahirkan intelektual pribumi pertama, Pangeran Ahmad Djajadiningrat.Daerah berikutnya yang dilalui jalan daendels adalah tangerang yang pernah menjadi pusatan para pemberontak yang berhasil menggulingkan Ratu Fatimah,gadis Arab dari kesultanan Banten. Daerah selanjutnya yaitu Batavia yang berganti nama menjadi Jakarta setelah melalui keputusan pamerintah pendudukan pemerintah Jepang.Daerah selanjutnya yaitu Depok yang dulunya terdapat kelenteng besar dan pemukiman penduduk Tionghoa. Daerah berikutnya yang dilalui jalan daendels adalah Bogor yang terkenal secara internasional  karena kebun rayanya yang memiliki koleksi tumbuhan terkaya di Dunia pada masa itu.

Daerah berikutnya yaitu Priangan yang menulis sejarahnya dengan perang tanpa henti. Daerah berikutnya yaitu Cianjur yang terkenal dengan gending gaya cianjurnya biasa dinamai Cianjuran. Lalu, Cimahi yang sebelumnya bernama Cikolokot sebelum 1913.Daerah berikutnya yaitu Bandung yang sejak awal abad 20 menjadi pusat kemiliteran dan di tempat ini pula untuk pertama kali di selenggarakan konferensi Asia-Afrika,1995. Kemudian, Sumedang yang merupakan tempat berlangsungnya kejahatan genosida yang dilakukan dalam pembangunan jalan Daendels. Daerah berikutnya yaitu  Karangsemburg yang merupakan pusat pergudangan komoditi.Lalu, Cirebon yang merupakan kota bandar internasional terutama menjadi tempat membongkar dan melepas jangkar bagi kapal-kapal dagang Cina dan India.Daerah berikutnya yang dilalui jalan daendels yaitu Tegal yang merupakan gudang beras Jawa tengah.

Daerah berikutnya yaitu Semarang yang setelah jatuh ditangan kompeni belanda pada 15 januari 1678, maka mulai 1743 Semarang menjadi tempat kedudukan Gubernur  Pantai utara Timur-Jawa. Selanjutnya Demak,di tempat ini banyak pekerja paksa yang meninggal karena Malaria. Daerah berikutnya yang dilalui jalan daendels yaitu Gresik yang mashur karena adanya Makam Malik Ibrahim.Daerah berikutnya yaitu Surabaya yang merupakan sebuah bandar yang mulai dikenal sebagai Ujung Galuh sampai awal abad 11 yang kemudian berubah nama menjadi Subaya setelah jatuhnya kerajaan majapahit di abad 15.

Sidoarjo merupakan sentra produsen makanan dari ikan laut pada masa Daandels. Daerah berikutnya yang dilalui jalan daendels yaitu Pasuruan yang pernah menjadi pusat kerajaan semasa VOC, tidak sampai melahirkan dinasti kemudian lenyap selama-lamanya. Daerah berikutnya yaitu Probolinggo yang dalam tahap awal kekuasaan VOC pernah dijadikan ibu kota privinsi Jawa Timur,kemudian jadi ibu kota keresidenan. Sampailah pada akhir jalan Daendels yaitu Panarukan yang merupakan pelabuhan terpenting dibagian tertimur pantai utara pulau Jawa pada masanya.

Read Full Post »

oleh Brama

Minke akhirnya sampai di tanah Betawi. Ia naik kapal dari Surabaya menuju betawi. Ia ingin menuju Weltefreden atau biasa disebut gambir kemudian dengan menaiki trem menuju gambir, melihat pemandangan kota betawi yang sudah modern melewati bangunan-bangunan megah, rawa, dan hutan. Setelah sampai, ia menuju STOVIA (School tot Opleiding van Indlandsche Artsen, Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi). Disana ia diberi uang saku 10 gulden sebulan serta tinggal di asrama. Ketika sampai diasrama ia disambut dengan kasar, koper ditendang sehingga membuat dia marah. Ia bertengkar dengan beberapa orang disana karena perlakuan mereka yang kasar. Ada seseorang bernama Partotenejo yang sama nasibnya dengan Minke. Mereka pun akhirnya berkenalan dan menjadi seorang teman. Ketika makan siang, ia dipanggil oleh pesuruh karena ada tamu yang mencarinya, seorang wartawan De Locomotiev Semarang. Ia telah bertemu Minke setahun lalu di Semarang dan sekarang ia datang untuk memberitahukan bahwa nanti malam, Minke diundang mengikuti pertemuan yang diadakan Anggota Tweede Kamer, Dewa kaum Liberal di kamarbola De Hermionie.

Pada pertemuan di kamarbola De Hermionie tersebut, dibicarakan tentang bagaimana kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Hindia dalam hubungan dengan kampanye Vrijzinning Demokratische Partij di dalam dan di luar parlemen, serta hal-hal lainnya. Di pertemuan ini, Minke dihormati karena ia adalah seorang muda penulis cerpen, bukan dengan gaya eropa atau amerika melainkan dengan gaya pribadi. Banyak yang kagum terhadap Minke karena dia bukan saja menulis dan bercerita, tetapi dia telah mempersembahkan hidupnya terhadap sesuatu. Selanjutnya, pada pertemuan itu dibicarakan pula tentang rodi atau kerja paksa, apakah rodi dihapus atau tidak? Mereka membincangkan kemana pendapatn dari rodi yang jumlahnya sekitar 15juta golden setahun. Berarti dari tahun 1870, Nederland telah berhutang kepada pribumi karena rodi sekitar sembilan ratus juta gulden. Memang pemerintah telah korupsi dari zaman VOC dulu sampai sekarang, jadi korupsi sudah tidak asing lagi didengar di Hindia. Tetapi korupsi tidak ada hubungannya dengan rakyat pribumi karena pemerintah Nederland lah yang selama ini selalu korupsi. Setelah berbincang-bincang dan berdebat dalam pertemuan itu, berarti hari pertama Minke di betawi telah lewat, setelah kembali di asrama, lampu telah padam dan tidak ada makanan yang tersisa, padahal perut masih terasa lapar.

Partotenojo selalu membantu Minke dalam mengajar pelajarannya tanpa pamrih. Ia mengajarkan Minke juga sambil bercerita-cerita tentang kehidupan di Jawa. Di asrama, Minke sudah mendapat julukan dari temannya yaitu gemblung. Parto juga bercerita kenapa tidak boleh membawa guling di asrama serta mengapa kebanyakan orang jawa meninggal di waktu kecil. Setelah empat bulan, Minke berhasil mengejar ketinggalannya di pelajaran. Kesempatan buat menulis tidak ada karena setiap jam lenyap untuk belajar, sudah jarang waktu luang yang ada, setiap jam digunakan untuk belajar dan belajar. Semua calon dokter , tidak usah sibuk mencari pekerjaan, tidak usah magang karena pekerjaan sudah ada di depan mata. Setiap siswa membutuhkan satu keluarga, Minke memilih keluarga Ibu Badrun. Ia cerita dengan Ibu Badrun tentang mengapa ia memilih sekolah dokter dan bagaimana kehidupannya dulu. Suatu ketika, Bunda Minke datang ke betawi dari tanah jawa. Ia bercerita kepada bundanya. Bunda juga memberi nasehat kepada Minke. Nasehat-nasehat Bunda ada yang dia dengar dan ada juga yang dia bantah. Ia meminta maaf kepada Bundanya kalau ia telah berubah dan membantah beberapa nasehat yang diberikan oleh Bundanya.

Sembilan bulan menjadi eleve, akhirnya kebosanan sudah tidak tertahankan lagi. Di perpustakaan, hanya iseng, Minke membuka lembaran-lembaran negara. Di lembaran itu terdapat beberapa lembaran tentang TiongHoa Hwee Koan, ia jadi teringat tentang janji kepada seorang TiongHoa. Ia kemudian mencari orang yang bernama Ang San Mei, ketika sampai di suatu gang yang kotor, ia bertemu dengan seorang gadis TiongHoa yang sangat cantik. Mata kepalanya tak bisa berhenti meliriknya, kemudian ia mendekati gadis itu dan kemudian bertanya tentang Ang San Mei. Ternyata gadis itu ialah Ang San Mei yang dicari, kemudian Ang San Mei mengajak Minke ke rumahnya dan mengobrol dengannya. Ang adalah gadis yang sangat terbuka.

Read Full Post »

oleh Fathia

Buku ini menggambarkan penderitaan rakyat Jawa akibat kekejaman penjajahan Belanda. Pertama Jan Dapperste alias Panji Darman mengabarkan bahwa Annelies sudah kehilangan semangat hidup. Di kapal Annelies sudah sakit dan Jan ikut merawatnya. Di Nederland Annelies tidak diurusi oleh walinya. Tidak lama kemudian dia meninggal.

Ketika Khoe Ah Su, seorang aktivis Cina yang sedang mengampanyekan nasionalisme datang. Marten Nijman, redaktur SN v/d D minta Minke mewawancarainya. Tulisannya lantas diplintir oleh Nijman. Dia menulis bahwa Khoe datang secara ilegal dari Tientsin dalam rombongan besar yang lalu dipecah ke berbagai kota. Tapi masyarakat Cina menolak gagasannya. Dia dikabarkan sudahjadi buronan. Minke tentu saja kaget. Nyai Ontosoroh menerangkan bahwa itulah watak Eropa : licik, penipu, jahat. Mereka unggul di ilmu dan ekonomi tapi cacat moral. Hukum dan pengadilanpun untuk kepentingan mereka, bukan kepentingan pribumi.

Ada pula digambarkan juga kekejaman administratur pabrik gula. Namanya Frits Homerus Vlekkenbaaij, diucapkan Plikemboh oleh orang Jawa. Dia pemabok, pemarah, kejam dan pengganggu wanita. Ketika melihat Surati, anak perempuan Sastro, timbulah niat jahatnya. Plikemboh menyiapkan jebakan untuk Sastro. Suatu ahri uang kas pabrik yang jadi tanggung jawab Sastro hilang. Plikemboh mau memberi hutang dengan syarat Surati diserahkan kepadanya. Semula Surati dan ibunya menolak tapi tanpa daya. Akhirnya Surati menerima dengan sebuah rencana balas dendam. Suatu malam dia pergi ke sebuah desa yang terkena wabah pes. Dia mampu masuk walaupun desa itu dijaga ketat agar orang luar tidak bisa masuk da orang desa tidak bisa keluar sampai mati semua bersama penyakitnya. Ditemuinya seorang bayi yang sedang sekarat dan akhirnya mati dalam pelukannya, sedangkan orang tuanya sudah mati Di dekatnya. Esoknya Surati datang menyerahkan diri ke Plikemboh. Dengan cepat Plikemboh tertular. Beberapa hari kemudian mereka mati bersama terkena sakit pes.

Penderitaan kaum tani. Minke bertemu denang Trunodongso, seorang petani ayng sedang diteror untuk memberikan tanahnya kepada pabrik gula. Trunodongso punya tanah lima bau. Tiga bau sudah disewakan kepada pabrik gula dengan paksa selama delapanbelas bulan tapi nyatanya sampai dua tahun kecuali dia mau dikontrak lagi untuk musim berikut. Uang kontrak 11 picis tapi dia hanya menerima 3 talen jadi masih kurang 35 sen. Minke berjanji mau menulis kasus ini di koran. Tapi Nijman menolak.

Kommer mengungkapkan bahwa Herman Mellema pernah konflik dengan patih Sisoarjo sehingga si patih dipindah ke Bondowoso. Dia juga konflik dengan camat yang jadi tuan tanah. Nyai kaget karena ingat pernah dengar ada orang mati konon ditanduk kerbau dan kata orang camat Sidoarjo. Dia sekarang yakin camat itu korban pembunuhan. Nyai mengira itu pastilah akal busuk Herman Mellema.

Pengaruh liberalisme Eropa digambarkan dengan pertemuan Minke dengan Ter Haar, seorang jurnalis Belanda. Dia mepaparkan semua kebusukan kolonial. Dia ceritakan kejayaan kapital di perkebunan, pertanian, transportasi dan pertambangan. Pabrik gula juga sudah jadi monster, korbannya juga sudah banyak. Salah satu contoh adalah van de Putte. Waktu jadi mentri jajahan dia bikin undang undang gula. Ternyata dia memiliki ladang tebu terbesar di Besuki Bondowoso. Petani priangan juga jadi korban empuk. Dulu mereka punya ratusan kerbau yang dilepas. Agen pribumi lalu menebar racun sehingga banyak hewan mati. Terjadi wabah akibat bangkai membusuk. Lalu dikeluarkan larangan hewan berkeliaran. Dengan tekanan lantas rakyat menyerahkan tanahnya. Jadilah perkebunan teh sedangakan peternakan besar rakyat musnah.

Gambaran kekejaman kolonialisme dilengkapi dengan tokoh Maurits Mellema, anak Herman Mellema dengan istri pertama. Dialah yang akan mengambil alih perusahaan Nyai berdasar vonis pengadilan Amsterdam bahwa dia pewaris sah aset Herman Mellema. Dia datang dengan sangat arogan ke rumah Nyai. Di sana sudah berkumpul kerabat dan teman teman Nyai. Mereka memprotes tapi tidak digubris.

Read Full Post »

oleh Yudith Yolanda Matindas

Larasati adalah seorang artis terkenal pada saat zaman penjajahan. Ara nama panggilannya. Pada awalnya Ara bermain dalam film propaganda penjajah tapi akhirnya ia mulai tertarik pada perjuangan kaum revolusioner yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perasaan ini timbul karena Ara pernah tinggal di Jogjakarta selama setahun untuk mengibur pejuang secara sukarela. Selain bermain film, Ara juga sering menjadi penghibur kaum adam salah satunya adalah Kapten Oding, teman dekatnya. Kapten Oding adalah seorang revolusioner yang mengantar Ara ke stasiun ketika Ara menuju kampung halamannya di Jakarta.

Ara ke Jakarta karena ingin bertemu ibunya dan membangun karir filmya kembali. Di dalam kereta, Ara bertemu dengan bermacam-macam orang. Pertama, Ara bertemu dengan kakek yang ternyata seorang petinggi militer dan pemuda yang mencurigakan. Waktu tiba di Cikampek, Ara bertemu dengan pemuda yang memiliki jiwa seni tinggi. Pejuang ini menitipkan sebuah misi penting yaitumencari tahu keberadaan salah satu anak buahnya yang hilang dalam tugas mata-mata di Jakarta. Di dalam perjalanan, Ara bertemu dengan Mardjohan, orang yang pernahada dalam hidup Ara pada masa kejayaan Ara. Mardjohan diutus oleh KNIL untuk merayu Ara supaya bermain dalam sebuah film propaganda NICA. Ara menolak rayuan itu karena ia lebih memilih untuk berjuang demi kemerdekaan dengan caranya sendiri. Keputusan Ara ini membuat sang kolonel marah dan membawa Ara ke penjara untuk menakutinya. Di penjara Ara bertemu dengan pejuang revolusioner yang sekarat.  Pejuang ini ternyata adalah anak buah sang pejuang yang ditemuinya di Cikampek.

Ara tidak kuat melihat keadaan tawanan di penjara itu. Ia pingsan dan dibawa keluar penjara. Supir kolonel Nica yang membawa Ara keluar penjara adalah seorang pejuang revolusioner. Namanya adalah Martabat. Martabat membawa kabur Ara ke kampung halamannya di Jakarta. Di kampungnya Ara bertemu dengan ibunya. Keadaan ibunya sangat memprihatinkan. Ibu Ara hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah orang Arab. Di kampung ini Ara dan Martabat bergabung dengan kawanan revolusioner lainnya untuk merencanakan pertempuran.

Tantangan yang dihadapi Ara sangat besar. Ia tidak hanya bertempur dengan tentara NICA. Majikan ibunya, Jusman, mencoba untuk memperkosa Ara. Pada awlanya Ara berusaha memberontak tapi karena rasa lapar dan tekanan yang sangat besar, Ara akhirnya menyerahkan juga kewanitaannya. Jusman sangat mencintai Ara dan mau memberikan segala sesuatu untuk Ara. Tapi ia tidak ingin melepaskan Ara. Di hati kecil Ara, ia tetap mendukung perjuang para pahlawan untuk mencapai kemerdekaan. Hingga suatu saat perjuangan kaum revolusioner mulai terlihat. Banyak tentara NICA termasuk Jusman yang kaget bahwa Ara alah seorang mata-mata NICA. Kemerdekaan seutuhnya berada di jiwa Ara. Perempuan yang berjuang segenap jiwa-raga dengan caranya sendiri.

Read Full Post »

oleh Shirine

Kisah ini terdapat di banten selatan yang ketika itu terjadi pemberontakan DI/TII. Ranta seorang buruh miskin bersama istrinya Ireng tinggal di sebuah gubuk yang terletak di kaki gunung. Ireng selalu mengeluh atas kekacauan yang terjadi di desanya akibat  perang ini.

Suatu hari datang juragan Musa yang kaya raya dan makmur. Ranta akan diberikan uang seringgit asal ia mau mencuri bibit karet, Lalu Ranta menyutujui pekerjaan yang diberikan juragan Musa.

Pada malam harinya Ranta berhasil mencuri bibit karet tersebut tetapi juragan Musa tidak mau memberikan upah tambahan kepada Ranta. Juragan Musa malah merampas bibit karet itu dan mengancam akan melaporkan Ranta.

Beberapa hari kemudian juragan Musa datang ke rumah Ranta. Ranta sudah tidak bisa menahan amarahnya dan juragan Musa lansung pergi dari rumah Ranta. Musa meninggalkan tas dan tongkatnya di ruman Ranta.

Musa pulang ke rumahnya dan langsung memarahi istrinya dan merekapun bertengkar. Tiba-tiba datanglah Djameng anak buah juragan musa, djameng melapor bahwa komandan telah pergi ke kota, dan Djameng juga melihat Ranta membawa tas dan tongkat juragan Musa.

Lalu juragan Musa meminta tolong pada Pak Kasan untuk membereskan Ranta. Ternyata dalam pertengakaran ini juragan Musa berkata bahwa ia adalah seorang petinggi DI. Istrinya marah sekali ketika mendengar itu karena orangtuanya adalah korban kekejaman DI.

Musa kaget sekali ketika komandan datang kerumahnya. Ternyata komandan sudah mendengarnya langsung bahwa Musa adalah petinggi  DI, lagipula komandan sudah lama mencurigai Musa karena Ia tidak pernah diganggu oleh DI sedangkan semuanya sudah pernah. Musa semakin kaget ketika ia melihat komandan membawa tas yang berisi surat penting milik  Musa. Lalu juragan Musa membantah semua tuduhan komandan.

Terdengar suara burung yang menjadi kode yang menandakan ada orang yang datang. Semua pasukan komandan langsung bersembunyi. Tiba-tiba datang rombongan pak lurah dan menyebut Musa (pak residen). Pak lurah berkata bahwa komandan sedang pergi dan markasnya hanya ada 10 orang saja dan merencanakan akan menyerang markas tersebut. Musa  hanya berpura-pura tidak tahu apa-apa. Setelah rombongan lurah pergi komandan melanjutkan pemeriksaan tetapi Musa tetap membantah.

Terdengar suara burung lagi. Ternyata pak Kasan datang dan berkata bahwa Ranta tidak ada di rumah dan tidak melihat tas dan tongkatnya. Bahkan Kasan berkata bahwa Ia membakar rumah Ranta. Komandan muncul dan menangkap mereka. Akhirnya komandan mengangkat Ranta menjadi Lurah sementara.

Read Full Post »

oleh A.M.Raihan.R

Bukan Pasar Malam adalah sebuah novel yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, tahun 1951. Novel ini ditulis setelah lima tahun Indonesia merdeka. Tentu saja, kondisi atau situasi sosial dan ekonomi masyarakat waktu itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi dan tergambar dalam karyanya itu. Informasi yang berkenaan dengan waktu novel itu ditulis menjadi penting, untuk dapat memberikan penafsiran yang sebaik mungkin berkenaan dengan judul di atas.
Ada dua hal penting yang dapat diambil dan digambarkan dalam Bukan Pasar Malam ini. Kedua hal itu sangat ditentukan oleh dua tokoh yang ada dalam cerita, yaitu tokoh Aku dan tokoh Bapak. Semula, terkesan agak sulit untuk menentukan siapa yang sebenarnya menjadi tokoh utama, karena dari beberapa bagian, tokoh Bapak mempunyai waktu penceritaan yang panjang. Bahkan, dapat dikatakan bahwa novel itu, sebenarnya, bercerita tentang tokoh Bapak. Pada pihak lain, tokoh Aku juga hadir sepanjang penceritaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa tokoh utama dalam novel ini adalah tokoh Aku dan tokoh Bapak, tetapi, tokoh Aku juga bertindak sebagai tokoh antagonis.
Tokoh Aku sebagai protagonis dan antagonis sangat mendukung penafsiran, bahwa Bukan Pasar Malam menggambarkan kesedihan dan penyesalan seorang anak yang telah jauh lari dari orang tuanya (tokoh Bapak). Jauh lari di sini mempunyai banyak makna, meliputi lari secara fisik dan lari secara moral. Secara fisik, tokoh Aku tinggal berjauhan dari orang tuanya. Tokoh Aku sudah lama tinggal di Jakarta, hampir 25 tahun dan selama itu tidak pernah pulang kampung. Sementara, ayahnya (tokoh Bapak) bersama dengan kakak dan adiknya tinggal di Blora, kampung halaman mereka. Secara moral, tokoh Aku berseberangan dengan ayahnya (tokoh Bapak). Mereka berbeda paham, terutama dalam hal agama dan ideologi. Tokoh Bapak (ayah) adalah seorang Islam dan anak seorang ulama, tetapi mengabdikan diri sebagai seorang pendidik (nasionalis). Sementara, tokoh Aku tidak mengaku sebagai seorang Islam dan cenderung kepada ‘pasukan merah’.
Perbedaan-perbedaan yang ada antara kedua ayah dan anak itu telah membuat keduanya ‘menderita’ secara batin. Si ayah (tokoh Bapak) sangat menginginkan anaknya kembali, baik secara fisik maupun secara moral. Keadaan itu dapat dilihat pada bagian awal cerita, yaitu dari isi surat tokoh Bapak yang diterima oleh tokoh Aku. Tokoh Bapak sangat mengharapkan anaknya ‘kembali’, seperti kutipan ini: “…Di dunia ini tak ada suatu kegirangan yang lebih besar daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali, anaknja yang tertua, pembawa kebesaran dan kemegahan bapak….”. Isi surat itu dan surat yang dikirimkan pamannya kemudian yang memberitahukan keadaan ayahnya yang sedang sakit parah, membuat tokoh Aku merasa sedih dan menyesal sekali.
Perasaan sedih dan menyesal itulah yang membawa dia pulang ke Blora, artinya kembali secara fisik, tetapi tidak secara moral. Kembali dalam pengertian kedua tidak dapat dilakukannya, karena ia sadar bahwa manusia itu lahir sendiri, hidup sendiri, dan mati sendiri. Jadi, masing-masing orang mempunyai cara dan jalan hidup sendiri-sendiri pula. Itu pulalah makna yang dapat diberikan terhadap judul novel ini, Bukan Pasar Malam. Jadi, manusia itu hidup tidak seperti di pasar malam, yang selalu ramai, tetapi manusia itu lahir, hidup, dan mati sendiri-sendiri. Ia tidak harus sama dengan orang lain dalam segala hal, termasuk tidak harus sama dengan apa yang diharapkan oleh ayah dan keluarganya yang lain.
Pada pihak lain, tokoh Bapak sebagai tokoh protagonis kedua yang diceritakan oleh tokoh Aku, menggambarkan ironi seorang pejuang, ironi seorang nasionalis. Ironi yang dimaksudkan di sini adalah suatu keadaan atau situasi yang dialami oleh seseorang yang bertentangan atau berlawanan dengan keadaan yang semestinya dialaminya, karena suratan takdir. Semestinya, seorang pejuang, seorang pendidik, seorang nasionalis, akan memperoleh perlakuan terhormat dan kedudukan yang lebih baik, baik secara materi maupun kepangkatan, dalam masyarakat dan pemerintahan.
Hal itulah yang seharusnya dialami oleh tokoh Bapak, setelah kemerdekaan dicapai. Namun, kenyataannya, tokoh Aku sebagai seorang pejuang (nasioanalis) telah membuat dia dan keluarganya menderita. Keluarganya tetap miskin, tinggal di rumah yang hampir runtuh. Dia dan anaknya menderita sakit TBC, tetapi tidak mendapat perawatan yang layak, karena tidak mempunyai cukup uang untuk berobat di sanatorium. Ia telah mengorbankan keluarganya demi memperjuangkan bangsanya. Akan tetapi, apa yang dia peroleh ketika bangsa itu telah merdeka. Tidak ada, kecuali hanya kekecewaan, yang kemudian menyebabkan dia menjadi seorang pejudi yang hebat dan akhirnya menderita sakit tbc. Adakah pemerintah atau teman-teman seperjuangannya dulu memperhatikannya. Tidak ada, tidak seorang pun, sampai akhirnya dia meninggal. Di situlah, ironisnya hidup yang dialami oleh tokoh bapak, seorang pejuang (nasionalis).
Keadaan yang dialami oleh tokoh bapak di atas, memperkuat makna yang terkandung dalam judul novel Bukan Pasar Malam ini; bahwa manusia itu lahir sendiri, hidup sendiri, berjuang sendiri, senang sendiri, sakit sendiri, dan pada akhirnya mati sendiri. Itu semua karena dunia ini bukan pasar malam.

Read Full Post »

oleh Arista Dhaivina

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, membentang 1000 km sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun dibawah perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu : Herman Willem Daendels (1762-1818). Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jendral Daendels memang menakutkan. Ia kejam, tak kenal ampun. Degan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

Walau Jalan Raya Pos dikenal dan selalu diajarkan di bangku-bangku sekolah namun bisa dikatkan tak ada buku yang secara khusus mengungkap sejarah pembuatan dan sisi-sisi kelam dibalik pembuatan Jalan Raya Pos. Buku terbaru karya Pramoedya Ananta Toer(Pram) ini bisa dikatakan dapat mengisi kekosongan literatur Jalan Raya Pos dalam khazanah buku-buku berlatar belakang sejarah dewasa ini. Walau buku ini bukan merupakan buku sejarah resmi, namun buku yang ditulis Pram dimasa tuanya ini (1995) dapat dijadikan sebuah buku yang mengungkap dan memberi kesaksian tentang peristiwa kemanusiaan yang mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos.

Buku ini ditulis dengan mengalir, tanpa pembagian bab. Pada halaman-halaman awal Pram mengurai awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida, pembunuhan besar-besaran ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada jaman Jepang di Kalimantan, genocida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indoenesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru. Di halaman-halaman selanjutnya setelah mengurai sejarah tercetusnya ide pembuatan Jalan Raya Pos di benak Daendels Pram membagi bukunya ini berdasarkan kota-kota yang dilewati dan berada disepanjang Jalan Raya Pos. Pram mencatat dan mengurai 39 kota yang berada dalam jalur Jalan Raya Pos, baik kota-kota besar seperti Batavia,Bandung, Semarang, Surabaya, maupun kota-kota kecil yang namanya jarang terdengar bagi masyarakat umum seperti Juwana, Porong, Bagil dan lain-lain. Secara rinci Pram mengungkap sejarah terbentuknya kota-kota tersebut, dampak sosial saat dibangunnya Jalan Raya Pos, hingga keadaan kota-kota tersebut pada masa kini. Dengan sendirinya masa-masa kelam ketika Jalan Raya Pos dikerjakan akan terungkap di buku ini. Ketika Jalan Raya Pos sampai di kota Sumedang dimana pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Para pekerja paksa harus memetak pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya inilah untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh, 5000 orang! Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Walau angka-angka korban di daerah ini tidak pernah dilaporkan, mudah diduga betapa banyaknya kerja paksa yang kelelahan dan lapar itu menjadi makanan empuk malaria yang ganas (hal 94). Sumber Inggris melaporkan seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan raya Pos sebanyak 12.000 orang!. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.

Selain mengungkap sisi-sisi kelam dibalik pembangunan Jalan Raya Pos, Pram juga senantiasa menyelipkan penggalan kenangan-kenangan masa muda dirinya pada kota-kota disepanjang Jalan Raya Pos yang pernah ia singgahi. Ada kenangan yang pahit, mengesankan, dan lucu yang pernah dialaminya di berbagai kota yang ditulisnya di buku ini. Sebut saja pengalaman lucu ketika Pram muda yang sedang dalam tugas ketentaraannya bertugas di daerah Cirebon, dalam kegelapan malam secara tak disengaja ia pernah buang hajat disebuh tungku dapur yang disangkanya kakus, padahal tungku itu masih berisi sisa singkong rebus untuk rangsum para laskar rakyat.(hal 79)..O la la….!

Buku ini diutup dengan bab “Dan Siapa Daendels” yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer. Dalam bab ini diuraikan biografi singkat Daendels. Selain itu bagian daftar pustaka yang menyajikan sumber-sumber pustaka yang digunakan Pram untuk menyusun buku ini mencakup buku-buku yang terbit dipertengahan abad ke 19 hingga akhir abad ke 20. Tak heran jika membaca karya ini pembaca akan mendapatkan hal-hal yang detail mengenai sejarah kota yang dilalui oleh Jalan Raya Pos. Yang patut disayangan pada buku ini adalah tidak adanya peta yang secara jelas menggambarkan rute-rute Jalan Raya Pos. Buku ini hanya menyijikan reproduksi dari peta kuno yang diambil dari Rijks Museum Amsterdam (hal 129). Peta yang tak mnggambarkan Pulau Jawa secara utuh dan huruf yang tak terlihat pada peta tersebut tentu saja menyulitkan pembaca untuk memperoleh gambaran akan sebuah jalan yang dibuat Daendels sepanjang Anyer hingga Panarukan ini.

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels diselesaikan oleh Pramoedya pada tahun 1995, entah apa yang membuat buku ini harus menuggu 10 tahun untuk diterbitkan, tak ada penjelasan dari penerbit mengenai mengapa baru sekarang buku ini diterbitkan, padahal beberapa tahun setelah karya ini diselesaikan era reformasi memungkinkan diterbitkannya karya-karya Pram secara bebas. Namun walau bisa ditakan terlambat diterbitkan, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca oleh siapa saja karena buku ini merupakan sebuah buku kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan dibalik pembangunan sebuah jalan sepanjang 1000 km yang dibangun beraspalkan darah dan air mata manusia-manusia pribumi yang dipaksa untuk membangunnya.

Read Full Post »

oleh Kevin Pradana

Kerajaan Daha atau yang sekarang di sebut Kediri adalah kerajaan yang berpenduduk tidak sekidit dan rakyatnya pula makmur. Rajanya yang bernama Erlangga yang bijaksana,yang memimpin kerajaan ini dengan sangat baik. Tiba-tiba para penduduk gelisah akibat adanya kabar burung akan adanya musuh yang datang yang akan menebarkan penyakit.

Di desa Girah tinggallah janda bernama Calon Arang. Ia punyai anak gadis berumur 25 tahun, yang sampai sekarang masih belum diperisrti. Tak seorang pun yang berani meminangnya periha ibundanya yang terkenal dengan ilmu teluhnya. Karena tidak seorang pun yang berani meminang anak gadis nya itu pun Calon arang marah. Datanglah ia ke candi dewai Durga dengan para murid-muridnya, perihal meminta izin untuk menerbitkan penyakit untuk membunuh para penduduk. Dan sang dewi pun mengizinkan nya dengan satu syarat, Calon Arang tidak boleh menebarkan penyakit sampai dalam kota.

Di Lemah Tulis, sebuah desa yang tentram tinggalah seorang empu yang sakti dan soleh. Ia bernama Bharadah, seorang sakti yang memilki seorang anak cantik nan soleh Wedawati. Ketika ibunda tercinta dari pada Wedawati meninggalkan nya untuk selamanya ia pun bersedih hati sepeninggalan ibunya, ia menangis tanpa henti dan terus menangis. Di tamnah dengan ayah nya yang menikah lagi dengan wanita lain, yang ternyata wanita bermuka dua. Wedawati pun melarikan diri kearah makam ibundanya.  Diperjalanan ia menemukan sekeluarga yang meninggal terkena teluh Calon Arang. Dewawati pun membantu membersihkan mayat-mayat itu.

Calon Arang dan para murid nya mulai mengganas, mereka gemar berkeramas dengan darah para korban mereka. Tak seorang pun berani menghadapi mereka. Yang melawan mereka, terbunuh lah dengan cara-cara yang bengis. Jadilah desa itu desa yang penuh mayat bergeletakan.

Para penduduk pun memohon kepada raja untuk menghukum Calon Arang. Raja pun menyanggupinya. Ia pun mengirim para bala tentara untuk membunuh sang Calon Arang. Tetapi kegiatan itu tidak lah berhasil. Hilanglah harapan para penduduk Daha.

Ternyata Calon arang pun agak takut terhadap balatentara raja yang banyak pula kuat. Ia meminta pendapat para murid nya apa yang sebaik nya ia perbuat. Ia pun berniat untuk menyerang ibukota. Ia pun meminta izin kembali kepada dewi Durga, dan permintaan itu pun di setujui oleh sang dewi.

Raja pun sadar bahwa mantra harus d lawan dengan mantra. Ia pun memohon pertolongan petunjuk dari sang Dewa. Dewa pun merekomendasikan empu Bharadah. Empu pun menyanggupi permohonan sang baginda. Empu memberi petunjuk untuk menjodohkan anak gadis dari pada Calon Arang dengan seseorang.

Empu pun berniat untuk kembali bertapa. Sepeninggalan empu bertapa sang Ibu kembali bertingkah. Kuburan ibunya pun menjadi pelariannya. Sepulang sang Empu dari pertapaannya ia menemukan anaknya tak dirumah, ia pun bergegas ke kuburan istrinya. Ayahnya membujuknya tapi tak berhasil. Ia pun pulang kerumah dan meminta para lelaki membuatkan rumah untuk Wedawati tinggal di dekat ibunya. Pekuburan itupun langsung dibuat indah dengan berbagai bunga-bunga yang menghiasi. Para pendudukpun datang untuk melihat keindahan taman perkuburan itu.

Mulailah rencana sang Empu, dengan mengutus empu Bahula untuk meminang anak Calon arang. Dengan berbagai mas kawin yang di siapkan oleh raja Bahula pun pergi melamar Ratna manggali. Rencana itu pun berhasil, sungguh girang nya sang Calon arang dengan peminangan itu. Acara pernikahan yang megah pun diselenggarakan. Bahula pun mendapatkan rahasia kekuatan dari pada Calon Arang. Bahula pun meminta istrinya untuk mengambilkan kitab Calon Arang untuk dipelajarinya. Setelah di dapatkannya ia pun segera memberinya kepada Empu Bharadah. Lalu, dikembalikannya kitab itu kepada Calon Arang, Empu Bharadah pun memulai aksinya untuk menyembuhkan para penduduk.

Empu pun dipertemukan dengan sang Calon arang, Calon arang meminta penganpunan dosa kepada Empu tetapi sang Empu tidak dapat menyanggupinya, karena terlampau banyak dosa sang Arang. Marahlah sang Calon mendengar itu. Calon Arang pun menunjukan kehebatannya supaya sang Bharadah tau siapa ia. Tapi saat Bharadah ingin Calon arang untuk mati, saat itupula sang arang mati. Tapi sang empu menghidupkannya lagi untuk mensucikan hati sang Arang dan mematikannya lagi. Kabar kematian Calon Arang pun tersiar keseluruh penjuru negeri, dan itu kabar yang terlampau bahagia.

Sekarang ladang kembali di tanami. Orang-orang kembali hidup damai. Anak-anak kembali bermain dengan ceria di halaman.

Terima kasih Empu Bharadah.

Read Full Post »

oleh Rahmat D. P.

Cerita diawali pada musim dingin tahun 1934 di dusun Yangke. Rakyat hidup menderita sebagai buruh di sawah milik Tuan Tanah Huang. Petani pagersari Jang tak mampu membayar hutangnya yang bunga-berbunga pada Huang. Maka Huang  menyita Si-Er, putri tunggalnya. Si petani tua malang tewas dalam upaya mempertahankan putrinya.

Alih-alih dijadikan pelayan, gadis remaja itu diperkosa Huang sampai hamil. Ketika kandungannya berusia tujuh bulan, ia hendak dihabisi Huang. Namun berkat bantuan babu tua, Bibi Tjang, ia bisa minggat. Diburu dan disangka jatuh ke sungai, padahal sebenarnya bersembunyi dalam gua di bukit. Bertahun-tahun memendam duka dan takut keluar siang membuat seantero rambut Si-Er memutih. Ia hanya mencuri sesaji makanan di kelenteng pada malam hari. Penduduk yang masih takhayul merasa ketakutan karena mengira ia adalah Hantu Berambut Putih.

Sementara itu pasukan tentara datang dari Barat.  Rakyat mengelu-elukan. Seorang perwiranya, Ta-Tjun adalah pacar Si-Er yang dulu diusir Huang. Ta-Tjun jugalah yang membuka rahasia si Hantu dan memboyong Si-Er turun bukit. Huang diadili. Harta dan tanahnya disita untuk dibagikan pada rakyat.

Hakekatnya kisah serupa juga ada di Indonesia, misalnya dalam Lenong Betawi (petani miskin dipaksa menyerahkan gadisnya untuk tuan tanah pada zaman penjajahan). Opera karya asli He Tjing-ce dan Ting Ji  ini dialihkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer.  Pertama terbit pada tahun 1958. Cetakan kedua yang direvisi,  tahun 2003. Tak banyak buku   drama, apalagi yang berlatar  budaya Tionghoa selain Sam Pek & Eng Tay

Read Full Post »

oleh Fitrian M. O.

Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1527, kekuasaan tak berpusat tersebar di seluruh daerah Jawa yang menyebabkan keadaan kacau balau. Perang yang terus menerus untuk merebut kekuasaan tunggal membuat Pulau Jawa bermandikan darah. Sehingga yang muncul di Jawa adalah daerah-daerah kecil (desa) yang berbentuk Perdikan (desa yang tidak mempunyai kewajiban membayar pajak kepada pemerintah penguasa) dan menjalankan sistem demokrasi desa, dengan penguasanya yang bergelar Ki Ageng. Adalah Ki Ageng Pamanahan menguasai Mataram dan mendirikan Kota Gede pada 1577. Kemudian Panembahan Senapati, anak Ki Ageng Pamanahan naik menjadi Raja Mataram.

Saat bersamaan muncul pula sebuah daerah Perdikan Mangir dengan pemimpinnya atau biasa disebut tua Perdikan yang bernama Ki Ageng Mangir Wanabaya seorang pemuda gagah dan berani beserta saudara angkatnya yang bernama Baru Klinting. Tak hanya berdua, Perdikan Mangir memperoleh bantuan dari beberapa orang demang yang masing-masing memiliki daerah kekuasaan pula. Demang Patalan, Demang Jodog, Demang Pandak, dan Demang Pajangan adalah  orang-orang yang setia selalu membantu Wanabaya.

Suatu hari Perdikan Mangir di bawah komando Wanabaya berhasil memukul mundur pasukan Mataram yang hendak menyerang dengan siasat perang Ronggeng Manggilingan. Setelah perang kecil tersebut usai kemudian Wanabaya bersukaria dengan menari bersama wanita ronggeng keliling yang bernama Adisaroh. Adisaroh adalah seorang wanita yang sangat cantik sehingga membuat Wanabaya tak mampu melepaskan pandangannya dari Adisaroh yang lama kelamaan membuatnya jatuh hati kepadanya.

Lain halnya dengan Wanabaya, para demang dan Baru Klinting justru sibuk berdebat sengit akan tingkah laku Wanabaya yang menurut Demang Patalan dan Demang Pandak tidak sepatututnya dilakukan oleh seorang tua Perdikan. Sebaliknya Demang Jodog dan Demang Pajangan justru membenarkan apa yang dilakukan oleh Wanabaya, sementara itu Baru Klinting hanya bisa menjadi penengah antara kedua kubu yang berseteru.

Baru Klinting yang pandai bersilat lidah akhirnya memutuskan untuk menghadapkan Wanabaya beserta Adisaroh ke hadapan para demang. Mereka menuntut Wanabaya agar dapat bersikap bijak layaknya sebagai seorang tua Perdikan, bukannya malah mabuk sambil menari-nari bersama Adisaroh seusai perang. Bukan kepalang kekesalan Wanabaya, akhirnya di hadapan seluruh demang termasuk ayah Adisaroh Tumenggung Mandaraka, ia menyatakan rasa cintanya kepada Adisaroh dan hendak mempersuntingnya. Tak ada pilihan bagi Adisaroh untuk menolak begitu juga dengan para demang yang tak dapat membendung hasrat Wanabaya muda.

Tak henti sampai di situ, Baru Klinting tetap memberi wejangan dan nasihat kepada Wanabaya akan keputusan yang telah ia ambil. Dengan atau tanpa Adisaroh Wanabaya tetap harus menjadi orang yang paling setia dan cinta pada Perdikan Mangir serta tidak akan melemah pendirian. Tetap gagah berani dan terus maju melawan Mataram sebagai seorang setiawan.

Beberapa lama kemudian Adisaroh mengandung anak hasil buah cintanya dengan Wanabaya yang membuatnya bahagia sekaligus risau. Waktunya telah tiba sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Saat sedang duduk termenung tiba-tiba Tumenggung Mandaraka menghampiri Adisaroh yang tak lain adalah Putri Pambayun anak dari Panembahan Senapati dan mengatakan bahwa waktunya telah tiba untuk membawa Wanabaya menghadap Panembahan Senapati yang tak lain adalah penguasa Mataram. Jelas hal itu membuat Pambayun bersedih hati karena baginya Wanabaya dan Perdikan Mangir adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan dari hatinya, terlebih lagi ia telah mengandung anak Wanabaya. Tak mungkin Pambayun mau menyerahkan Wanabaya untuk mati dihadapan dirinya dan anaknya sendiri yang tengah dikandung badan.

Ki Juru Martani yang tak lain Tumenggung Mandaraka berusaha meyakinkan Pambayun bahwa Wanabaya tak akan dibunuh oleh Mataram walau sebenarnya ia tau bahwa Wanabaya akan dibunuh di sana, kunjungan Wanabaya ke mataram tak lain hanya sebagai pertemuan keluarga, pertemuan antara ayah dengan menantunya sembari meminta restu. Ditambah dengan sedikit alasan keluarga yaitu berbakti pada orangtua dan setia pada Negara akhirnya Pambayun harus rela mengiyakan permintaan sang Ki Juru Martani walaupun dengan berat hati.

Akhirnya Pambayun mengatakan yang sesungguhnya kepada Wanabaya bahwa sebenarnya dirinya adalah Putri Pambayun anak putri dari Panembahan Senapati dan Tumenggung Mandaraka tak lain adalah penasihat Mataram yaitu Ki Juru Martani. Bukan main kesalnya Wanabaya yang ternyata selama ini telah dibohongi oleh isteri tercintanya sendiri, sambil bersujud menangis Pambayun meminta maaf dan menyatakan rasa penyesalan dan bersalahnya. Apa daya wanabaya yang telah naik pitam tak kuasa menahan amarahnya dan terus menggerutu menungu kedatangan Baru Klinting yang mungkin bisa menenangkannya.

Baru Klinting tiba dan bersama dengan para demang ia mengatakan bahwa kunjungan wanabaya ke Mataram bersama Pambayun bisa dimanfaatkan untuk menyerang langsung Mataram dari dalam. Sebuah rencana yang langsung disetujui oleh Wanabaya dengan segala strategi yang telah dipersiapkan, Pambayunpun berjanji akan setia kepada Perdikan Mangir dan rela berkorban nyawa demi Mangir bersama Wanabaya. Dengan demikian sepakatlah Perdikan Mangir untuk menyerang habis Mataram pada saat kunjungan berlangsung.

Hari kunjungan yang dinanti telah tiba, inilah saatnya wanabaya dan Pambayun beserta seluruh bala tentara Mangir menuju Mataram. Di lain pihak Panembahan Senapati, Ki Ageng Pamanahan, dan Ki Juru Martani sudah tak sabar menunggu menantunya Wanabaya menghadap. Ketika tiba di Mataram bala tentara Mangir langsung menyerbu Mataram dengan segenap kekuatan yang ada. Wanabaya dan Baru Klinting pun ikut menyerbu Mataram dan langsung menuju ruang pertemuan untuk menghujamkan kerisnya kepada Panembahan Senapati. Ketika hendak berlari menghujam kan kerisnya, Wanabaya ditikam dari belakang oleh Pangeran Purbaya yang merupakan kakak dari pambayun. Begitu juga dengan Baru Klinting, setelah menangkis serangan demi serangan akhirnya ia pun tewas oleh tikaman tombak Panembahan Senapati. Tak hanya mereka berdua, Ki Ageng Pamanahan ayah dari Panembahan Senapati pun tewas saat itu juga. Berakhirlah sudah perjalanan Perdikan Mangir di tangan Mataram, hanya tersisa Pambayun yang tengah bersedih sanbil memeluk jasad suami tercinta sang Tua Perdikan Mangir Wanabaya sambil terus berkata sendiri tanpa arti.

Read Full Post »