oleh Nadia Anisha
Halangan atau adanya pilihan atau keputusan berat yang kita temui dalam perjalanan kehidupan kita sesungguhnya bukanlah hambatan dalam menjalankan sesuatu. Bapak Imaduddin , guru agama yang lahir di Lamongan, 28 Februari ini pun pernah mengalami suatu pilihan yang tidak sesuai dengan keinginanya. Namun, ia tidak membuat itu semua menjadi hambatan dalam perjalanan kehidupannya. Ketika ia duduk di bangku SMP, ia mempunyai keinginan untuk melanjutkan pengetahuannya itu di bidang eksak. Namun, orang tua beliau menginginkan beliau untuk melanjutkan SMA di sekolah keagamaan atau yang sering kita sebut pondok pesantren .
Akhirnya ia melanjutkan pendididkan SMA di Pondok Lamongan pada tahun 1997. Tidak sedikit hambatan yang ia temui dalam melanjutkan di sekolah keagamaan atau pondok tersebut , contohnya: yang dulunya lebih menguasai dan biasa menghadapi pengetahuan eksak, di pondok itu dia harus menghadapi pelajaran dengan buku yang penuh dengan tulisan Arab gundul kecuali matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan PKN, yang lainnya penuh tentang keagamaan.
Di saat itu, beliau tidak dapat membaca tulisan Arab gundul sama sekali, tetapi Bapak yang memiliki motto hidup “Enak tidak enak harus enak” ini tidak merasa putus asa maupun malu . Ia berfikir jangan melakukan sesuatu dengan setengah–setengah. Dia berusaha keras untuk mengejar ketinggalannya itu dengan meminta temannya mengajarinya membaca tulisan arab gundul tersebut setiap shubuh. Akhirnya, dengan usahanya itu dalam kurun waktu 1 semester ia dapat membaca tulisan Arab gundul tersebut .
Sekarang ia merasa bangga atas apa yang pernah ia alami dulu, karena apa yang ia alami di pondok membuat nya mempunyai banyak pengalaman yang membuat hidupnya lebih disiplin dan teratur. Pondok juga mengajarkannya untuk selalu beribadah dan selalu berada di jalan Allah SWT. Bukan hanya itu, dulu ia juga dapat menjadi salah satu lulusan terbaik di angkatannya dari kurang lebih 100 orang .
Di balik rasa bangganya itu, Bapak Imaduddin juga masih merasa belum terlalu menguasai dalam menerjuni ilmu tersebut .Ia merasa ketika ia berdiskusi dengan orang banyak ia belum bisa mengikuti atau memahami maksud apa yang dikatakan orang lain tersebut. Padahal, gurunya pernah mengatakan bahwa ia sudah mempunyai keahlian dan kelebihan yang bagus dalam berbahasa Arab. Pada akhirnya, Pak Imad memilih jurusan pemikiran Islam, tafsir dan hadist yang sekarang telah membuat beliau dapat mengajar di SMA Dwiwarna dan dapat menafsirkan buku Arab gundul.
Pro dan kontra yang terjadi pada Bapak Imaduddin pada waktu itu adalah adanya perbedaan antara keinginannya dengan orangtuanya. Di sini kita dapat mengambil pelajaran, keinginan orangtua yang tidak sama dengan kita itu pastilah tidak memiliki maksud buruk. Mereka pasti menginginkan yang terbaik untuk kita. Dari cerita Bapak Imaduddin, Ia mendapatkan banyak pelajaran, pengalaman berharga serta prestasi yang membanggakan di Pondok tersebut. Maka janganlah kita berpikir negatif dengan keinginan orangtua yang berlawanan. Sesungguhnya, hambatan yang kita temui itu bukan berarti halangan untuk kita, bahkan bukan pula sesuatu yang membuat kita berhenti dan tidak mau berusaha. Seperti apa yang dipikirkan Bapak Imaduddin bahwa jangan melakukan sesuatu dengan setengah–setengah, jangan membuat itu menjadi penyesalan di akhir. Berusahalah sebisa mungkin apa yang dapat kita lakukan. Semaksimal apa usaha kita dalam melakukan sesuatu, semaksimal itu jugalah hasil yang akan kita dapat. Keberhasilan akan kita dapatkan jikalau kita mau mau belajar dari kesalahan, mau mengkoreksi kekurangan diri sendiri dan terus optimis.
Tinggalkan komentar